Struktur Modal (Capital Structure)
A.
Pengertian
Struktur Modal
Pada dasarnya tugas manajer
keuangan perusahaan adalah berusaha mencari keseimbangan finansial neraca yang
dibutuhkan serta mencari susunan kualitatif neraca tersebut dengan
sebaik-baiknya. “Pemilihan susunan kualitatif pada sisi assets akan menentukan
struktur kekayaan perusahaan, sedangkan pemilihan susunan kualitatif dari sisi
liabilities dan equities akan menentukan struktur keuangan dan struktur modal
perusahaan” (Riyanto, 1984, p.4). Wasis (1981) menyatakan bahwa struktur modal
harus dapat dibedakan dengan struktur keuangan.
Perhitungan biaya rata-rata
tertimbang modal (WACC) didasarkan pada bobot masing-masing komponen dari
bauran berbagai sekuritas yang digunakan perusahaan untuk membiayai asetnya.
Tetapi, jika bobot tiap komponen struktur modal tersebut berubah, maka biaya
modal dan proyek yang disetujui juga akan berubah. Apalagi jika terjadi
perubahan bauran struktur modal, maka akan berdampak pada risiko yang
terkandung dalam saham biasa perusahaan. Oleh karenanya, keputusan tentang
struktur modal merupakan hal yang penting.
Secara konseptual terdapat istilah struktur modal yang ditargetkan
(target capital structure)
yaitu bauran atau perpaduan dari hutang, saham preferen dan saham biasa yang
dikehendaki perusahaan dalam struktur modalnya. Meskipun struktur modal yang
ditargetkan akan berubah-ubah sesuai dengan perubahan kondisi, umumnya
perusahaan telah menghitung dan mempunyai pedoman untuk mencapai struktur modal
tertentu. Dengan adanya struktur modal yang ditargetkan, setiap pembiayaan akan
berpatokan pada bauran modal tersebut. Jika penggunaan hutang berada di bawah
target tersebut, maka perusahaan harus mencari pinjaman. Demikian, jika rasio
hutang telah di atas target, ada kemungkinan perusahaan harus menjual saham
baru.
Kebijakan mengenai struktur modal
melibatkan trade off antara risiko dan tingkat pengembalian (return).
Penambahan hutang akan memperbesar risiko perusahaan, tapi akan memperbesar
tingkat pengembalian yang diharapkan (expected return).
Risiko yang makin tinggi akibat besarnya hutang cenderung akan menurunkan harga
saham, tapi meningkatnya expected return
diharapkan akan meningkatkan harga saham pula. Dari sini muncul konsep struktur modal optimal,
yaitu struktur modal yang mengoptimalkan keseimbangan antara risiko dan
pengembalian sehingga memaksimumkan harga saham.
Risiko yang dihadapi oleh
perusahaan merupakan faktor yang mempengaruhi keputusan tentang struktur modal.
Risiko dapat dikategorikan dalam dua kategori :
·
Risiko bisnis (business
risk)
yaitu tingkat risiko terkait dengan tidak digunakannya hutang jangka panjang
untuk membiayai asset perusahaan. Jika risiko bisnis makin besar, artinya rasio
hutang makin kecil.
·
Risiko keuangan (financial
risk)
yaitu risiko yang dihadapi para pemegang saham biasa sebagai akibat penggunaan
hutang jangka panjang.
Secara konseptual, operasionalisasi suatu
perusahaan mengandung risiko bisnis. Jika perusahaan menggunakan hutang, maka
risiko ini akan dibebankan utamanya pada pemegang saham biasa. Risiko bisnis
adalah ketidakpastian yang berkaitan dengan proyeksi tingkat pengembalian atas
aktiva (ROA) atau atas ekuitas (ROE) dengan asumsi perusahaan tidak menggunakan
hutang. Fluktuasi ROE ini disebabkan oleh banyak faktor seperti perekonomian
nasional, keberhasilan produk baru yang dikeluarkan oleh perusahaan atau
pesaingnya, kebakaran, pemogokan, dan lain-lain. Unsur ketidakpastian perolehan
ROE inilah yang disebut sebagai risiko bisnis.
Sementara itu risiko keuangan lebih
diartikan sebagai tambahan risiko yang ditanggung oleh pemegang saham sebagai
akibat penggunaan leverage keuangan. Artinya jika makin besar penggunaan
sekuritas yang berbiaya tetap dengan prosentase bunga tertentu (hutang dan
saham preferen), maka pemegang saham biasa akan menanggung seluruh risiko
bisnis, sehingga risiko terhadap turunnya nilai saham ditanggung oleh pemegang
saham akan berlipat dua jika dibandingkan kondisi awal.
Berikutnya akan dibahas bagaimana
leverage keuangan (financial leverage)
akan mempengaruhi laba per lembar saham (EPS). Analisis terhadap struktur modal
pada dasarnya bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan hutang (leverage
keuangan) terhadap harga saham perusahan, karena perusahaan akan memutuskan
apakah perusahaan perlu memasukkan komponen hutang dalam struktur modal (yang
berarti menggunakan hutang sebagai sumber pendanaan) atau tidak (unleverage).
Kemudian, jika memanfaatkan leverage keuangan, pada jumlah berapakah penggunaan
hutang? Dari berbagai keputusan tersebut, prinsip dasarnya adalah perusahaan
harus memilih struktur modal yang dapat memaksimumkan harga saham perusahaan.
B.
Komponen
Struktur Modal
1.
Hutang Jangka Panjang
Jumlah hutang di
dalam neraca akan menunjukkan besarnya modal pinjaman yang digunakan dalam
operasi perusahaan. Modal pinjaman ini dapat berupa hutang jangka pendek maupun
hutang jangka panjang, tetapi pada umumnya pinjaman jangka panjang jauh lebih
besar dibandingkan dengan hutang jangka pendek.
2.
Modal
Sendiri
Pendanaan dengan modal
sendiri akan menimbulkan opportunity cost. Keuntungan dari memiliki saham
perusahaan bagi owner adalah control terhadap perusahaan. Namun, return yang
dihasilkan dari saham tidak pasti dan pemegang saham adalah pihak pertama yang
menanggung resiko perusahaan. Modal sendiri atau ekuitas merupakan modal jangka
panjang yang diperoleh dari pemilik perusahaan atau pemegang saham. Modal
sendiri diharapkan tetap berada dalam perusahaan untuk jangka waktu yang tidak
terbatas sedangkan modal pinjaman memiliki jatuh tempo. Ada 2 (dua) sumber
utama dari modal sendiri yaitu:
·
Modal
saham preferen
Saham preferen
memberikan para pemegang sahamnya beberapa hak istimewa yang menjadikannya
lebih senior atau lebih diprioritaskan daripada pemegang saham biasa.
·
Modal
saham biasa
Pemilik perusahaan
adalah pemegang saham biasa yang menginvestasikan uangnya dengan harapan
mendapat pengembalian dimasa yang akan datang. Pemegang saham biasa
kadang-kadang disebut pemilik residual sebab mereka hanya menerima sisa setelah
seluruh tuntutan atas pendapatan dan asset telah dipenuhi.
C.
Contoh Kasus 1
Asset PT Aristoteles saat ini
dibiayai seluruhnya oleh saham biasa senilai $5.000.000. Perusahaan ingin
membeli peralatan baru senilai $2.000.000 dengan alternatif cara: 1) menjual
40.000 lembar saham biasa pada harga $50 per lembar, 2) menjual obligasi berbunga
10%, atau 3) menerbitkan saham preferen 8%. EBIT saat ini adalah $8.000.000,
tingkat pajak pendapatan 50% dan jumlah lembar saham yang beredar saat ini
sebanyak 100.000 lembar. Untuk menghitung titik indiferen, lebih dahulu perlu
dihitung EPS pada tingkat EBIT $1.000.000.
Seluruhnya
saham biasa Seluruhnya hutang Seluruhnya s.preferen
EBT $1,000,000
$800,000 $1,000,000
Pajak 500,000
400,000 500,000
EAT $500,000
$400,000 $500,000
Deviden
S.Pref 160,000
EAC $500,000
$400,000 $340,000
Jumlah
saham 140,000 100,000 100,000
EPS
Grafik EPS-EBIT dibuat dengan
cara menghubungkan antara EPS pada tingkat EBIT $1.000.000 dengan EBIT untuk
masing-masing alternatif pendanaan pada sumbu horisontal. Untuk rencana penggunaan
saham biasa, garis melewati titik nol karena tidak terdapat biaya tetap (biaya
tetap = nol), sementara untuk penggunaan obligasi, paling tidak harus tersedia
EBIT sejumlah $200.000 untuk dapat menutup biaya bunga. Untuk rencana
menggunakan saham preferen, minimal harus tersedia EBIT sejumlah $320.000
[$160.000/(1-0,5)] untuk menutup deviden saham preferen yang sebesar $160.000
pada tingkat pajak 50%, jadi garis saham preferen melewati titik $320.000 pada
sumbu horisontal.
Dalam
contoh ini, titik indiferen antara saham biasa dan hutang adalah:
(EBIT
− 0)(1− 0,5)− 0 = (EBIT − 200.000)(1−
0,5)− 0
.000 100.000
,5(EBIT)(100.000) =
0,5 (EBIT)(140.000) – 0,5(200.000)(140.000)
.000EBIT
= 14.000.000 EBIT = 700.000
Dengan cara yang sama, titik
indiferen antara saham biasa dan saham preferen diperoleh sejumlah $ 1.120.000.
Dari gambaran tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa pada berapapun tingkat
EBIT, penggunaan hutang lebih baik dari pada saham preferen karena tingkat EPS
yang dihasilkannya lebih tinggi. Kesimpulan kedua adalah bahwa pada tingkat
EBIT di atas $700.000, penggunaan hutang lebih baik dibandingkan menggunakan
saham biasa. Jika EBIT kurang dari $700.000 lebih baik menggunakan saham biasa.
Ketiga, pada tingkat EBIT di atas $1.120.000 lebih baik perusahaan menggunakan
saham preferen dibandingkan saham biasa, dan sebaliknya jika EBIT kurang dari
$1.120.000.
D.
Contoh
Kasus 2
PT
X mempunyai susunan modal pada tahun 2004 sebagai berikut :
Saham
Biasa 100.000 lembar Rp 50.000.000,-
Saham
preference 6% per tahun 1000 lembar Rp 25.000.000,-
Pada
tahun 2005 membutuhkan tambahan dana sebesar RP 25.000.000,-denagan alternatif
pembiayaan sebagai berikut :
Saham
Biasa Rp 10.000.000,- saham Preference Rp 15.000.000,- (Alt A)
Saham
Biasa Rp 15.000.000,- saham Preference Rp 10.000.000,- (Alt B)
Saham
Biasa Rp 17.000.000,- saham Preference Rp 7.500.000,- (Alt C)
Nilai
nominal saham biasa dan saham preference sama denagan nilai sebelumnya, pajak
sebesar 35% :
Pertanyaan:
a.
Tentukan EBIT indefference point dan buktikan bahwa EPS-nya sama.
b.
Alternatif aman yang paling menguntungkan bagi pemegang saham, bial EBIT
sebesar Rp 7.500.000,- kemkakan dengan alasan !
Jawaban
:
diket
:
C1
= 1 . (6% . 25.000.000
(
1- 0,35)
=
2.307.692,31
C2
= 1 . ( 6% . 15.000.000
(
1- 0,35)
=
3.692.307,70
S1
= 100.000 lembar + (25.000.000 : 5000)
=
150.000 lembar
S2
= 100.000 lembar + (10.000.000 : 5000)
=
120.000 lembar
Sumber
:
http://jurnal-sdm.blogspot.co.id/2009/07/teori-struktur-modal-pengertian-dan.html